Adaptasi - makanan

Sesampainya di negara orang ada beberapa hal yang mencolok bagi saya saat beradaptasi. Yang seperti ini tidak bisa diantisipasi tapi terasa selama menjalani. Perbedaan paling atas adalah soal makanan.

Sbagai tukang jajan, faktor makanan sangat berkorelasi dengan tingkat kebetahan. Perjalanan pertama ke supermarket setempat terasa sebagai inspeksi menyeluruh di setiap rak mereka. Siapa tahu ada bahan ala tanah air, biarpun produk asing. Untungnya masakan asia (biasanya chinese and thai food) cukup umum seperti masakan italia yang pasaran. Singaporean dan malaysian food juga cukup mendunia sekarang. Terbukti di supermarket biasa (bukan khusus supermarket asia), saya mudah menjumpai produk mereka.

Tadinya saya pikir stok supermarket dipengaruhi demografis penduduk, tp tidak selalu juga. Buktinya saya gak mudah menemukan masakan filipina di supermarket umum, padahal imigran asal filipina cukup banyak. Produk Indonesia yg umum ditemui antara lain sambal pedas ABC, bumbu instan nasi goreng indofood, bumbu merek kokita dan yang paling melegakan : Indomie. Selain produk tersebut, kita harus hunting ke chinatown atau toko bahan makanan asia.

Parahnya ketika kami pindah ke thailand. Produk indonesia sangat sulit didapatkan dan toko khusus asia gak ada. Ya kali buat apa, kan masih di asia ya? Mungkin sharusnya saya cari bahan masakan melayu. Ketika main ke KBRI mendapati ibu2 dharma wanita bikin kantin masakan rumahan dan jual indomi kuah, aduh rasanya girang banget! Sejauh ini hanya di bangkok saya tidak temui indomie kuah. Di pasaran banyak varian indomie goreng- rasa rendang, sate, pedas.. Tp tidak yg berkuah. Saya rasa sih karena mi instan kuah produk thailand takut gak laku. Haha

Di luar masalah supply, ada yg perlu diperhitungkan. Kalau kita mau memanjakan lidah dengan masakan tanah air, biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih tinggi. Tentunya karena keterbatasan stok. Bandingkan, sebungkus indomie berharga kisaran 5000-9000rupiah sementara mi instan lokal sekitar 2500 saja. Belum lagi aneka bumbu masak impor dari tanah air harganya gak murah, bahkan bisa selangit! Seperti kemiri, aneka dedaunan (daun salam, daun jeruk, daun kunyit, daun pisang, daun singkong), bahan khas (tempe, teri medan, nangka, pete-jengkol, bumbu penyedap) dan bumbu khusus untuk masakan tertentu lainnya. Saya pernah shock mendapati sekilo jahe di Perth harganya 21 dollar, sekitar 180 ribu rupiah! Saya ambil satu patahan kecil saja dihargai 20 ribu. Coba dibandingkan dengan blanja sayur ibu saya dari mbak-mbak keliling yang cuma lima ratus perak untuk jahe sebesar itu. Belum lagi kalau dibandingkan dengan harga makanan setempat. satu kilo jahe sebanding dengan makan kenyang di resto italia.

satu porsi besar setiap masakan ini masih lebih murah dari sekilo jahe!

Untuk mengatasi ini dan menyelamatkan dompet, ada beberapa solusi. Pertama, agak berkompromi, yaitu masak tidak ideal, gunakan bumbu-bumbu yang sudah dalam kemasan (ketumbar, lada, pala, kunyit.. sudah lazim ditemui bentuk bubuk atau pasta) dan hemat bumbu. masakan rasanya gak ideal juga, tapi masih lumayan. Makan di restoran bermenu (mirip) tanah air sudah pasti akan lebih mahal dibanding masak sendiri. Masak dalam jumlah besar (dengan bumbu yang cukup) juga membantu. selain praktis gak perlu sering-sering masak, rupanya bumbu juga bisa berhemat.


jajan di warung melayu, lebih enak masak sendiri! 



Solusi paling baik adalah belajar makanan setempat! selain harga lebih murah, supply lebih banyak, kita juga mendapatkan pengalaman yang lebih afdol tinggal di luar negeri. Jajan ala penduduk lokal berarti berkompromi rasa dan varian. Kalau di Bangkok sih, surga jajanan. masalah terutama hanya bagi Muslim karena sebagian tempat makan bermenu masakan babi. Tapi kaki limanya sih banyak pilihan. dari pisang goreng wijen, seafood steam/goreng/bakar - cocol sambal, nasi ketan mangga, rujak bebek, buah potong, sup tomyam, martabak... (dan masih panjang deretan jajanan ini).
Kalau di Perth pilihannya terbatas, pancake, kebab, fish-chips, pizza, pasta, salad.. gitu gitu aja. Di london sedikit lebih meriah, mungkin karena imigrannya juga lebih variatif, dengan penambahan imigran dari eropa timur yang buanyak banget.

Belajar dan akhirnya doyan makan oyster mentah bgini. 
jajanan ala spanyol : churros (donat goreng cocol coklat)

Sayangnya lidah saya masih tetep 'agak' fanatik dengan masakan tanah air. Beberapa tahun tinggal di negeri orang, menu di rumah tetap berputar dari balado-gulai-tumisan-soto, etc. Tapi kalau jajan di luar sudah agak jago dan lebih menikmati. Seimbang lah. dompet gak tralu tipis lagi dan gak perlu setiap hari makan nasi. hehehe.




Comments

  1. Kalau Froggy, mau makanan barat, makanan Indonesia, asal Froggy doyan langsung sikat hahaha... tapi makanan barat lebih simpel bumbu dan cara masaknya... hihihi...

    ReplyDelete
  2. bener frog (kok jadi kayak ngomong sama froggy kodok ya?) hehe. yang penting enak dan enak banget kan. makan aja! btw, thanks a lot for leaving comment :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mendarat di Bandara Luar Negeri Tanpa Bingung

Aturan Imigrasi Thailand Untuk Long Term Stay

Drama Goblin (lokasi syuting dan pernak pernik).